Ketika buku PARARATON: BIOGRAFI PARA RAJA SINGHASĀRI-MAJAPAHIT terbit pada Juli 2023 kemarin, ada netizen yang komentar, “Aku tidak sudi membaca buku yang menceritakan hoaks Majapahit runtuh diserang Raden Patah.”
Ini perlu diluruskan. Pararaton sama sekali tidak menyebut Raden Patah. Bahkan Dĕmak juga tidak disinggung sama sekali. Pada bagian akhir hanya disebutkan bahwa pada Śaka 1400 (1478 Masehi) ada raja Majapahit yang meninggal di istana. Tidak dijelaskan ia meninggal karena apa.
Kisah Majapahit runtuh diserang Raden Patah adipati Dĕmak sumbernya bukan dari Pararaton, melainkan dari naskah-naskah babad semacam Babad Tanah Jawi dan Sĕrat Kaṇḍa. Dikisahkan di naskah itu bahwa Majapahit runtuh karena rajanya yang terakhir bernama Prabu Brawijaya menolak masuk Islam sehingga diserang Raden Patah, putranya sendiri. Kisah ini boleh kita sebut dengan VERSI TRADISIONAL. Perlu diketahui bahwa versi ini ditulis oleh pujangga Dinasti Mataram sekitar dua atau tiga abad sesudah Majapahit runtuh. Itu artinya, tingkat kevalidannya sangat rendah. Buktinya apa? Majapahit versi ini didirikan oleh Raden Susuruh, seorang pelarian dari Pajajaran; padahal menurut temuan purbakala, pendiri Majapahit bernama Dyah Wijaya, pangeran Tumapĕl. Dari sini dapat disimpulkan bahwa kisah sejarah Majapahit versi tradisional lebih seperti dongeng yang tidak didasarkan pada fakta historis.
Alternatif lain dari versi di atas ialah rekonstruksi yang dilakukan oleh arkeolog Pak Hasan Djafar. Pada 1975 ia membuat rekonstruksi berdasarkan analisis terhadap Pararaton dan sejumlah sumber sejarah lainnya. Menurutnya, Majapahit runtuh bukan diserang Raden Patah, melainkan oleh Girīndrawardhana Raṇawijaya. Rekonstruksi yang diajukan ialah: Pada 1468 raja Majapahit bernama Suraprabhāwa terusir ke Daha karena dikudeta oleh Bhre Kṛtabhūmi, putra raja terdahulu (Rājasawardhana Sināgara). Suraprabhāwa ganti bertakhta di Daha hingga meninggal pada 1474 dan digantikan putranya yang bernama Girīndrawardhana Raṇawijaya. Pada 1478 Girīndrawardhana Raṇawijaya balas menyerang Majapahit dan menewaskan Bhre Kṛtabhūmi. Nah, Bhre Kṛtabhūmi ditafsirkan sama dengan Prabu Brawijaya dalam cerita tradisional yang memiliki anak Raden Patah. Pada 1519 putra Raden Patah atau cucu Bhre Kṛtabhūmi yang bernama Pati Unus raja Dĕmak balas mengalahkan Girīndrawardhana Raṇawijaya.
Cerita di atas sangat populer dan banyak dipakai sebagai tandingan versi tradisional. Namun demikian, perlu diingat bahwa cerita di atas hanyalah REKONSTRUKSI dari Pak Hasan Djafar. Tidak ada satu pun prasasti atau lontar kuno yang menyebut Suraprabhāwa punya anak bernama Girīndrawardhana Raṇawijaya.
Lalu bagaimana dengan sumber prasasti? Dalam Prasasti Pĕṭak disebutkan bahwa pada 1486 Girīndrawardhana Raṇawijaya mengukuhkan anugerah dari raja sebelumnya, yaitu Bhaṭāra Prabhu Sang Mokta ring Amṛtawiśeṣalaya dan Sang Mokteng Mahālayabhawana untuk tokoh bernama Brahmārāja Ganggādhara yang berjasa mengusahakan kemenangan Sang Munggwing Jinggan saat berperang melawan Majapahit.
Nah, dari prasasti dapat diketahui bahwa Girīndrawardhana Raṇawijaya HANYA mengukuhkan anugerah dari raja sebelumnya, sedangkan yang menyerang Majapahit bukan dia, melainkan Sang Munggwing Jinggan. Siapakah sebenarnya tokoh yang berjuluk Sang Munggwing Jinggan itu? Terlalu panjang jika saya bahas di sini. Yang jelas, berbagai tafsir para pakar sejarah Jawa Kuno mengenai nasib Majapahit akhir telah saya susun secara detail dalam buku saya yang diterbitkan Javanica.
.
Heri Purwanto