Isfandiari Mahbub Djunaidi lahir di Jakarta, 10 Maret 1971, dari pasangan Almarhumah Hasni Asmawi (Kapau, Bukittinggi) dan Almarhum Mahbub Djunaidi (Tanah Abang, Jakarta). Sejak kecil dia dibesarkan di Bandung bersama tiga kakak perempuannya (Fairuz, Mira, Tamara) dan kakak dan adik lelakinya (Rizal, Yuri, Verdi Heikal).
Beres jadi murid TK Periska Postel zona Nilem Bandung Selatan, dia terdaftar sebagai murid SD Karang Pawulang,Turangga, Bandung. Teman SD-nya dijamin gampang mencirikannya. Ke sekolah ia nggak pakai sepeda tapi naik kuda, hadiah ayahnya saat duduk di kelas 4 SD. Tapi bukan kuda mahal! Papanya membeli kuda Bima yang sebenarnya kuda potong saat itu. Harganya hampir sama dengan sepeda, masih agak liar tapi gagah dan tinggi. Lepas SD ia masuk ke Badan Perguruan Indonesia (BPI II) di Bandung. Saat itulah ia sering ikut bapaknya sowan ke kiai-kiai besar, khususnya di zona Jawa Timur. Paling teringat saat bertemu kali pertama dengan Kiai As’ad Syamsul Arifin di Situbondo. Kiai kharismatik yang berselera humor tinggi, juga toleran. Ia pernah mengajak saya ke “gubuknya” di sudut pesantren yang saat itu sudah megah. Kediamannya hanya terdiri atas dipan dan perabot seadanya. Sangat sederhana. Saat itu ia jadi saksi hidup persahabatan ayahnya dengan Kiai As’ad. SMA dilaluinya di SMAN 1 Bandung. Di sana ia termasuk beken karena sering mengisi mading SMA dengan artikel-artikel tentang sosial kemasyarakatan, humor, dan banyak lagi yang lainnya. Sebenarnya itu tulisan ayahnya. Hanya saja, karena bandel, supaya eksis di sekolah ia minta ayahnya nulis di mading atas nama dirinya. Uniknya, sang ayah juga sama “bandel” dengan dirinya, mengizinkan tulisannya dicatut anaknya sendiri. Beres SMA, ia lanjut kuliah di Universitas Airlangga Jurusan Sosiologi. Tak lama di sana, ia pindah dan masuk Universitas Padjadjaran Jurusan Jurnalistik. Karena tuntutan mata kuliah, ia jadi sering menulis artikel lepas. Dosennya yang bernama Pak Sahala menugaskannya menulis artikel untuk Suara Pembaruan. Pas dimuat dan dapat honor, dia jadi keranjingan nulis. Terlebih saat magang di Pikiran Rakyat, hasrat menulisnya makin menggebu. Dia rajin mengisi rubrik Minggu dan dapat honor lumayan. Uangnya dikumpulkan untuk beli motor tua dan memodifnya.
Sekarang Isfan bekerja di Kelompok Kompas Gramedia, sebagai redaktur umum tabloid MotorPlus. Dia banyak menulis tentang kehidupan bikers, motor modifikasi, event-event besar penghobi motor modif, dan banyak lagi tema lainnya. Ia sempat melanglang buana ke Inggris, mewawancarai pesepakbola beken, David Beckham; mengunjungi pabrik motor di Cina; hadir di Tokyo Motor Show, Sirkuit Shanghai Cina, juga Sirkuit Sepang Malaysia. Kini ia sering menghadiri seminar-seminar kajian sastra dan budaya dan pernah mendapat penghargaan sebagai budayawan Betawi.