Kenapa Sêdulur Papat kita tidak terlihat? Demikian pertanyaan yang pernah diajukan kepada saya pada suatu hari. Untuk menjawabnya, saya hendak sedikit bercerita tentang Sêdulur Papat atau Catur Sanak ini.

Ketika sperma bapa (kama pêthak) dan ovum ibu (kama bang) bertemu di rahim ibu, terjadilah pembuahan. Sejak saat itu, Sêdulur Papat kita sudah hadir untuk mempersiapkan segala sesuatu demi keberlangsungan hidup sang janin sebagai Pancêr (pusat) mereka.

Sêdulur Papat kita mengambil wujud fisik berupa Kakang Kawah (air ketuban), Gêtih (darah), Adhi Ari-Ari (plasenta), dan Pusêr-Lamas (tali pusar-selaput janin). Idealnya, mereka mengawal pertumbuhan sang janin selama bertapa di gua garbha ibu nan gelap selama sembilan bulan. Dengan bahagia mereka bahu-membahu melakukan apa pun untuk memberikan perlindungan kepada si kecil agar nanti terlahir selamat.

Yang paling menegangkan adalah ketika usia sang janin sudah menginjak sembilan bulan dan bersiap-siap terlahir ke dunia. Saat itu, Sêdulur Papat berjanji kepada sang janin bahwa mereka akan memuluskan jalan kelahirannya. Tugas mereka adalah membukakan pintu kelahiran, membungkus tubuh sang janin agar tidak terluka, dan mendorongnya agar segera keluar dari pintu kelahiran.

Yang sangat mengharukan adalah, Sêdulur Papat rela mati demi kehidupan sang janin. Bagaikan laskar cinta, mereka ikhlas jika harus mati sebagai air ketuban, darah, ari-ari, dan tali pusar atau selaput janin agar sang janin bisa selamat keluar dari garbha ibunya guna menikmati kehidupan yang penuh warna.

Pada akhirnya, sang janin keluar dari garbha ibunya dan pekik tangis pun terdengar. Tangisan itu tidak saja pertanda penderitaan yang kelak akan dihadapi sang jabang bayi, melainkan juga jerit kepiluannya, sebab ia tidak akan lagi melihat wujud fisik empat saudara yang menemaninya dengan setia dan penuh cinta selama bertapa di rahim ibunya. Sejatinya, mereka pun menangisi perpisahan yang menyedihkan itu.

Sêdulur Papat sang jabang bayi pun mati dari wujud fisiknya. Air ketuban, darah, ari-ari, dan tali pusar-selaput janin sudah tidak hidup lagi. Tetapi, meskipun mereka telah mati dari wujud fisiknya, spirit mereka tetaplah hidup dan senantiasa mengiringi sang jabang bayi di dimensi gaib sampai akhir hayatnya, bahkan sampai di alam kematian.

Pasca-kelahiran, pola hubungan sang jabang bayi dan Sêdulur Papatnya terus mengalami dinamika, hingga ada momen panjang ketika sang jabang bayi yang telah beranjak dewasa sepenuhnya lupa akan keberadaan Sêdulur Papatnya, yang membuat mereka begitu sedih sekaligus sakit hati karena sangat kangen untuk sekadar diingat dan disapa. Dan ini terjadi karena sebagian besar manusia hanya mengandalkan pikiran dan pancaindranya sehingga lupa bahwa ada perangkat halus berupa rasa untuk terhubung dengan Sêdulur Papat yang gaib dan tak tercerap pancaindra.

Pola hubungan Sêdulur Papat dan diri kita selaku Pancêr mereka dari kelahiran hingga kematian telah selesai saya tulis dan akan terbit sebentar lagi melalui Penerbit Javanica.

Ong sanakingsun kabeh, aja lali ring ingsun apan ingsun tan lali ring sira sanakingsun kabeh. Wahai saudaraku semua, aku tak akan pernah melupakan kalian semua sebagaimana janji kita tatkala berada di rahim ibu dulu.


Penjelasan lengkap tentang ajaran Jawa asli ini bisa dibaca di buku Sêdulur Papat Kalima Pancêr terbitan Javanica.

Pemesanan via WA 0812-8765-4445 klik:

Tokopedia: https://tokopedia.com/javanicabooks
Shopee: https://shopee.co.id/javanicabooks

sedulur papat kalima pancer
Buku Sedulur Papat Kalima Pancer

0
0
0
0
WhatsApp chat